SURAMNYA
BAYANG-BAYANG
Oleh : SH. Mintarja
Bab 1
KETIKA hujan reda di ujung malam, maka bulan pun mulai
nampak di balik bayangan
mega yang kelabu. Jalan-jalan yang sunyi menjadi licin
dan berlumpur. Sementara
pintu-pintu sudah tertutup rapat.
Namun dalam pada itu, dalam keheningan yang semakin
mencengkam, seseorang duduk
di atas sebuah amben bambu sambil mengusap hulu
pedangnya. Sebuah mangkuk berisi
air panas masih terletak di hadapannya.
Sesekali orang itu meneguk minuman panas itu. Namun
kemudian pelahan-lahan ia
bangkit sambil bergumam, “Waktunya telah tiba.”
Orang itu berdiri tegak sambil memandangi ruangan itu
dari sudut sampai ke
sudut. Setiap benda yang ada di ruang itu diperhatikan
dengan seksama. Namun
kemudian ia pun telah menarik nafas dalam-dalam. Sambil
melangkah ke pintu,
orang itu memanggil, “Wiradana....”
Seorang anak muda yang mendengar panggilan itu pun
bangkit dari pembaringannya.
Udara yang dingin telah mendorongnya untuk berbaring
sambil merenungi dirinya
sendiri.
Ketika Wiradana memasuki ruang tengah, dilihatnya ayahnya
berdiri dengan pedang
di lambung.
“Ayah...” desis anak muda itu.
“Ayah akan pergi. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali
atau tidak. Tetapi kau
sudah cukup dewasa. Kau tahu apa yang harus kau lakukan,”
desis orang berpedang
itu.
“Ayah akan kemana?” tanya Wiradana.
“Baiklah. Aku akan berkata terus terang. Justru karena
aku mengharap bahwa kau
akan dapat menanggapi keadaan dengan sebaik-baiknya.”
Ayahnya terdiam sejenak,
lalu, “Wiradana, Tanah Perdikan ini mulai berkembang. Kau
harus dapat berbuat
sebagaimana ayah berbuat selama ini atas Tanah Perdikan
ini. Seandainya ayah
tidak kembali, maka aku yakin bahwa Tanah Perdikan ini
tidak akan menjadi
kuncup. Tetapi akan mekar dan menjadi sejahtera.”
“Apa sebenarnya yang akan ayah lakukan?” tanya Wiradana.
“Hari ini adalah hari yang sudah aku janjikan untuk
bertemu dengan Gonggang
Wirit,” jawab ayahnya.
“Siapakah Gonggang Wirit itu, ayah?” tanya Wiradana.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak banyak
orang yang mengenal
namanya. Bahkan aku kira orang itu telah mati pula. Namun
tiba-tiba ia datang ke
Tanah perdikan Sembojan ini.”
“Apa hubungannya dengan ayah dan untuk apa ia datang
kemari?” desak Wiradana.
“Persoalan itu sebenarnya telah terjadi sejak kau belum
dilahirkan.” Wajah orang
tua itu menjadi keruh. “Persoalannya berkisar pada
persoalan ibumu. Aku telah
bertengkar dengan seseorang sehingga aku tidak dapat
berbuat lain daripada
membunuhnya. Laki-laki yang mati itu adalah adik orang
yang bernama Gonggang
Wirit. Untunglah bahwa ibumu sekarang sudah tidak ada
lagi, sehingga ia tidak
melihat, bahwa pertentangan yang terjadi lebih dari
duapuluh tahun yang lalu itu
masih saja berkelanjutan.”
“Apakah Gonggang Wirit datang memang untuk mempersoalkan
peristiwa yang terjadi
lebih dari duapuluh tahun yang lalu itu?” tanya Wiradana.
“Agaknya tidak, Wiradana,” jawab ayahnya. “Ternyata
sekarang Gonggang Wirit
telah menjadi seorang gegedhug yang membuat negeri ini
menjadi keruh. Mungkin
Tanah perdikan ini dianggapnya terlalu jauh dari pusat
pemerintahan di Demak,
sehingga Gonggang Wirit telah memilih daerah yang sedang
tumbuh ini menjadi
sasarannya.”
“Ayah, apakah Gonggang Wirit mempunyai hubungan dengan
gerombolan Kalamerta yang
membuat rusuh di Tanah perdikan Sembojan ini?” tanya
Wiradana.
“Ternyata Kalamerta itu adalah Gonggang Wirit,” jawab
ayahnya. “Ia memang
menggantikan namanya dan melakukan pekerjaan yang nista
dengan kemampuannya yang
tinggi dalam olah kanuragan. Agaknya Tanah Perdikan ini
akan banyak mengalami
kesulitan jika kita harus berhadapan langsung dengan
gerombolan itu.”
“Tetapi kenapa ayah akan menemuinya sekarang? Sebab
menurut tanggapanku, ayah
akan menemuinya dalam perang tanding,” sahut Wiradana
dengan cemas.
“Ya. Aku memang mengharap dapat bertemu dengan Gonggang
Wirit dalam perang
tanding. Aku tidak mempunyai cara lain untuk
menyelamatkan Tanah Perdikan ini.
Jika aku berhasil memancingnya, maka aku kira para
pengikutnya akan kehilangan
pegangan, sehingga para pengawal Tanah Perdikan ini akan
dapat menghadapi
mereka,” jawab ayahnya.
“Ayah yakin akan dapat membunuhnya?” tanya Wiradana.
“Aku akan mencobanya. Tetapi jika aku tidak berhasil, dan
aku justru terbunuh,
maka jangan kau sesali. Mungkin aku memang harus menebus
tingkah lakuku lebih
dari duapuluh tahun yang lalu. Tetapi jika terjadi
demikian, kau harus dengan
cepat memberikan laporan, tidak usah ke pusat
pemerintahan di Demak. Kau dapat
menugaskan dua-tiga orang untuk melaporkan ke Kadipaten
Pajang yang jauh lebih
dekat. Mudah-mudahan Pajang menaruh perhatian atas
tingkah laku segerombolan
berandal di Tanah Perdikan Sembojan ini,” jawab ayahnya.
Wiradana termanggu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ayah,
sebaiknya ayah tidak
pergi seorang diri. Apakah ayah yakin, bahwa orang itu
akan menghadapi ayah
dengan jujur?”
“Aku sudah berhasil memancing persoalan. Aku berhasil
mengungkat persoalan lama
sehingga aku berhasil membatasi persoalan itu antara aku
dengan Gonggong Wirit,
kakak dari seorang yang pernah aku bunuh lebih dari dua
puluh tahun yang lalu,”
jawab ayahnya pula.
“Jadi ayah memang sudah pernah bertemu dengan orang itu?”
bertanya Wiradana
pula.
“Aku bertemu dengan seseorang yang pernah aku kenal
justru dari sudut pasar, di
pande besi ketika aku ingin memesan sepuluh kejen bajak
utuk padukuhan Gambir,”
jawab ayahnya pula. “Agaknya Gongong Wirit tidak lupa
kepadaku sebagaimana aku
tidak lupa kepadanya meskipun kit sudah berpisah.
Ternyata sorot matanya masih
tetap memancarkan dendam atas kematian adiknya meskipun
itu sudah terjadi lama
sekali. Ketika orang itu tahu, bahwa aku adalah kepala
Tanah Perdikan ini, maka
ia mengancam akan menghancurkan Tanah Perdikan itu.
Satu-satunya jalan adalah
memancing kebenciannya kepadaku dan membatasi persoalannya
sebagai persoalan
pribadi. Akhirnya, aku berhasil menjebaknya dalam satu
perang tanding.”
“Bagaimana jika orang itu curang ayah?” bertanya Wiradana
pula.
“Tidak. Ia sudah mengatakan, bahwa dalam persoalan
pribadi ini, akan berdiri di
atas harga dirinya demi menuntut balas atas kematian
adiknya itu,” jawab ayah
Wiradana.( continued )